Persepsi terhadap Kenyataan

Upasama
4 min readFeb 12, 2021
Credits: Charlie Costello

Tanpa manusia sadari, tubuh ini tersusun atas banyak manipulasi yang mempengaruhi persepsi diri terhadap apa itu kenyataan.

Bagaimana ketika sepasang mata melihat, pantulan cahaya yang masuk merefleksikan pemandangan tersebut sesungguhnya terbalik saat jatuh pada retina. Sesungguhnya adalah otak yang memproses pantulan tersebut dan membalik pantulan yang terlihat agar manusia tak perlu repot-repot untuk berdiri di atas tangannya untuk melihat segala sesuatu secara benar.

Bagaimana sesungguhnya warna itu berbeda bagi tiap orang. Bahwa merah keoranyean bagi seseorang mungkin hanyalah sekedar warna oranye bagi orang lain.

Seluruh yang terlihat, terhirup, terkecap, terdengar, dan tersentuh sesungguhnya sudah melalui proses yang rumit pada tubuh yang ujung-ujungnya diatur oleh otak — oleh bermilyar-milyar sel syaraf yang saling bertaut.

Apabila demikian adalah cara manusia memproses dunia, maka untuk apa memusingkan apa itu yang nyata dan bukan? Karena realita adalah persepsi, untuk apa diri ini bersusah-susah mengejar sesuatu yang nyata?

Demikian lah bagaimana saya memproses segala sesuatu yang saya lihat, dengar, sentuh, hirup, dan kecap.

Rasa adalah rasa. Tidak ada rasa yang ia tidak suka ataupun suka. Bau adalah bau, sebuah penanda dari sesuatu. Bau harum tidaklah lebih baik dari bau busuk, keduanya hanya merupakan bau dari dua hal yang berbeda. Warna adalah warna. Merah adalah apel, biru adalah lautan, dan hijau adalah laut.

Semua ini adalah fakta. Sebuah fakta seharusnya selalu berdiri sendiri sebagai fakta, tanpa memori — tanpa perasaan.

Bohong apabila saya mengaku bahwa pola pikir begini adalah sesuatu yang sudah ada sejak tubuh dikandung Ibu. Saya tidak terlahir sebagai manusia yang melihat segala sesuatu secara berjarak dan rasional.

Dahulu, saya adalah sesosok anak kecil dengan perasaan yang penuh dan jauh lebih besar dari tubuh ini. Saya mudah menangis, juga tertawa. Saya mudah naik pitam, juga mudah memaafkan. Saya adalah balon helium yang terisi begitu penuh — begitu mudah untuk terbang ke angkasa, namun juga rentan untuk pecah.

Saya beruntung. Tidak ada satu pun orang di keluarganya yang mengolok atas perasaan saya yang selalu terasa begitu besar. Papa selalu membesarkan hati saya. Menurutnya sudah seharusnya laki-laki itu jadi sosok yang perasa. Sedang Mama selalu menuntun saya untuk menata perasaan yang besar-besar ini agar tidak selalu meledak dan menyusahkan diri.

Saya tumbuh menjadi saksi utama dari bagaimana kedua orang tua saya dapat menjadi dua orang dewasa dengan urusan-urusan dewasa namun tetap memiliki perasaan yang besar-besar persis dengan yang Bondan miliki.

Sepanjang masa kecil saya, Papa dan Mama adalah dua sosok yang saya puja. Mereka adalah sebagaimana seseorang seharusnya tumbuh. Saya sungguh berharap agar juga bisa tumbuh seperti demikian — menjadi orang dewasa yang teguh pada pendirian diri dan bisa menemukan belahan jiwa dengan satu pandangan yang sama. Saya ingin menjadi seorang lelaki dengan perasaan yang penuh seperti Papa, dan memiliki seorang wanita dengan perasaan yang teguh seperti Mama.

Lalu tiba waktu ketika diri beranjak remaja. Alih-alih memimpikan seorang wanita dengan tubuh seharum bunga tujuh rupa dan rambut panjang nan halus, ketika air mani pertama keluar dari tubuh, saya memimpikan tangan kasar dan tubuh tegap dari teman sebangku saya. Saya malah memimpikan suara dia yang baru pecah dan bagaimana sentuhannya membuat inti tubuh saya tergetar.

Mimpi basah saya adalah seorang pria, bukan wanita.

Saya adalah seseorang dengan perasaan yang besar, layaknya balon helium yang terisi begitu penuh begitu merasakan sesuatu. Malam itu, balon tersebut menggembung terlalu cepat dan besar, lalu pecahlah balon tersebut dengan suara yang begitu memekakkkan telinga.

Malam itu, saya terbangun dengan tubuh bersimbah keringat dan celana yang terasa lengket. Malam itu, pertama kalinya saya merasa tidak berdaya atas diri saya sendiri.

Kedua orangtua saya selalu mengajarkan bahwa apapun yang saya rasakan adalah nyata, tetapi mereka tidak pernah memberitahu apa yang harus dilakukan apabila perasaan yang saya rasa adalah sebuah kesalahan.

Saya tahu ini adalah kesalahan.

Bukankah sudah menjadi sebuah kodrat bahwa sepasang itu harus terdiri dari dua yang berbeda? Kanan dan kiri, hitam dengan putih, laki-laki dengan perempuan.

Beribu tanya sudah tergantung di ujung lidah setiap pandang bertemu dengan kedua orang tua saya, namun saya terlalu takut. Saya tidak pernah ingin mengecewakan orang tua, apalagi dengan menjadi sebuah kesalahan.

Maka saya berusaha mencari dan mencari sendiri, dari satu penjelasan dari satu penjelasan. Meski saya sendiri tak tahu harus mulai dari mana dan mencari apa. Siang habis menjadi malam, hari habis menjadi bulan, dan terkumpul menjadi tahun. Tak jua saya menemukan titik cerah.

Hingga akhirnya saya terantuk dengan dinding kesendirian.

Saya marah. Saya letih.

Saya kemudian bertanya pad diri sendiri: Apabila benar perasaan-perasaan yang dirasa adalah nyata, apa itu sesungguhnya makna dari sesuatu yang nyata? Bukankah yang nyata bagi satu orang, bisa saja tidak nyata bagi orang lain.

Pertanyaan tersebut menghantuinya, membenani kedua sisi pundak sampai perlahan diri saya yang penuh mengempis, lalu terjun bebas ke palung yang begitu dalam.

Bersamanya, matilah Bondan yang memiliki perasaaan yang besar-besar, yang tersisa adalah Bondan yang percaya bahwa kenyataan yang ia rasakan tidak perlu orang lain ketahui dan akan ia simpan sampai mati.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Upasama
Upasama

Written by Upasama

Ini adalah tempat di mana aku menumpahkan segala hal yang tergantung & bercokol lama di benak. Jangan kaget jika jumpa dengan satu sisi dari banyak sisiku.

No responses yet

Write a response