Langit Marmer

Upasama
4 min readNov 6, 2020

Ada masa dalam satu hari ketika garis pembeda antara mimpi dan kenyataan menjadi kabur. Seperti subuh hari, ketika nyawa semua orang baru terkumpul setengah, terbangun karena suara adzan yang bersahutan dari tiap masjid. Atau beberapa jam sebelum tengah malam, ketika semua orang mulai jatuh terlelap dan mulai bermimpi.

For me, it’s the rush hour.

Mulai dari pukul empat sore sampai delapan malam. Kereta, bis, dan angkot akan berjubelan dengan orang yang tak sabar kabur dari gedung-gedung tinggi yang menjebak mereka selama delapan jam. Mereka rela tergencet dengan satu sama lain di dalam kereta seperti ikan sarden kalengan. Apapun demi sampai di rumah secepat mungkin.

Di waktu ini, pikiranku akan mulai berkabut sampai garis antara mimpi dan kenyataan akan ikut menjadi kabur. Semakin tergencet diri ini di tengah lautan manusia, semakin berkabut pula pikiranku.

Mungkin rasa ini terjadi sesederhana akibat kurangnya oksigen yang masuk ke dalam tubuh, atau karena lembabnya udara akibat panas tubuh yang menguar dari setiap orang di dalam kereta.

Entah. Yang jelas pikirannya berkelana ke mana-mana, melayang-layang lantas mengarang-ngarang kisah mengada-ada dari setiap orang yang aku lihat.

Contoh. Perempuan paruh baya di depanku terlihat seperti bos galak yang selalu menyusahkan anak buahnya di kantor. Lalu laki-laki di samping ia adalah salah satu anak buahnya yang bermulut manis dan selalu berusaha menyenangkan hati beliau supaya dapat bonus gaji. Perempuan muda di sampingku adalah tuan puteri yang sedang menyamar jadi rakyat jelata. Kemudian anak sekolah di sampingnya adalah adiknya yang mau tak mau terseret ke petualang berbahaya sang kakak.

Aku layangkan pandanganku ke setiap orang di dalam kereta. Di saat ponsel atau hiburan lain tak mungkin diakses, kegiatan ini merupakan kegiatan yang cukup menghibur.

“Nisitha.”

Aku menoleh ketika mendengar namaku disebut. Kupandangi satu-satu wajah orang di sekitarku. Tak ada satupun yang terasa familiar. Mungkin ada orang lain bernama sama denganku di gerbong ini.

“Sitha.”

Sekali lagi aku menoleh. Kini aku dengar baik-baik dari mana arah suara tersebut berasal. Kutolehkan kepalaku ke belakang.

Ia yang memanggil namaku tersenyum lebar.

Pikiranku tidak sekabut sebelumnya. Aku dorong badanku agar bisa menyelip di antara himpitan orang-orang. Sesekali aku terpaksa sedikit menyikut sana-sini hanya supaya bisa melangkah ke tempat di mana orang yang memanggilku tadi berada.

Kepalaku langsung mendongak menghadap wajahnya ketika aku akhirnya sampai.

Dian. Seperti nama perempuan, tapi ia bukan perempuan. Pelita, lampu, lilin — itulah arti namanya. Kami berbagi satu meja dahulu saat masih mengijak bangku SMP.

Dahulu aku memanggilnya Dian si tiang listrik. Sebab tubuhnya menjulang dan kepalanya botak plontos. Tinggi dan mengkilat di puncak, persis seperti lampu jalanan.

Kami baru bertemu lagi setelah sekian tahun tak berkabar. Dia bekerja di PLN, sampai sekarang tak habis-habis aku meledeknya karena sepertinya namanya benar telah menjadi doa atas karirnya saat dewasa.

Kami sempat sesekali jalan bareng. Meski sudah kenal sejak kecil, aku masih canggung saat bersamanya. Maklum, kami sudah tak pernah berhubungan lagi sejak lulus sekolah, juga dahulu aku sempat naksir berat pada. Dua hal yang sempurna membuatku menjadi si kikuk nan canggun saat bersama Dian.

“Baru pulang ?”

Aku menganggukkan kepalaku. Ia juga ikut menganggukkan kepala tanda paham.

Kami pun kembali terdiam. Sesekali aku melirik ke arah dirinya. Ia berdiri menghadap jendela, tatapannya menerawang menatap langit sore. Jadilah penasaran aku dibuatnya.

Kereta semakin penuh dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Aku menunduk ke arah lantai, memerhatikan ujung kakiku yang semakin lama semakin tak terlihat karena tertutupi tangan-tangan orang serta tas yang mereka jinjing.

Untuk membunuh waktu dan menggantikan rasa canggung yang kurasa karena kehadiran Dian, aku coba bayangkan ia ke dalam berbagai kisah dan skenario. Menjadi anak baru yang sedang melewati masa probation, atau orang kaya yang sedang mengecap pengalaman menjadi rakyat kelas menengah bawah.

Tetapi semakin aku berusaha berkhayal, semakin aku merasa konyol. Untuk apa aku berkhayal begini di saat orang yang aku bayangkan sedang berada tepat di sampingku? Bukankah jauh menarik untuk menyelami apa yang ia pikirkan ketimbang menebak asal tentang kisah dirinya.

“Ta.”

Aku kaget karena suaranya terdengar begitu dekat. Kembali kudongakkan kepala untuk menatapnya. Ia tidak menatapku, wajahnya masih menghadap jendela kereta.

“Lihat keluar, deh. Langitnya bagus.”

Ia melingkarkan lengannya di bahuku sambil mendorongku agar bisa bergeser sedikit lebih dekat dengan jendela. Kabut yang menutupi pikirannya semakin terangkat sepenuhnya begitu aku bisa melihat apa yang ia lihat.

Langit terlihat begitu cantik. Warnanya ungu gelap dengan semburat-semburat jingga. Seperti pola batu marmer, tapi lebih cantik.

“Cantik, ya.”

Senyumnya begitu lebar, membuatku tak tahan untuk ikut tersenyum. Aku mengangguk mantap sambil beringsut mendekat ke tubuhnya.

“Banget.”

Sepanjang perjalanan kami menonton langit berubah dari ungu terang menjadi biru gelap. Di saat itu, pikiranku tak lagi melayang-layang dan mengada-ngada. Karena saat ini, realita terasa lebih menyenangkan dari imajinasiku

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Upasama
Upasama

Written by Upasama

Ini adalah tempat di mana aku menumpahkan segala hal yang tergantung & bercokol lama di benak. Jangan kaget jika jumpa dengan satu sisi dari banyak sisiku.

No responses yet

Write a response