Aku adalah selembar daun, yang baru saja gugur — terlepas dari dahan pohon mangga lalu jatuh di atas hamparan rumput jepang yang harum segar habis dipangkasnya masih menguar begitu kuat.
“Ah, maaf aku menghalangi pandangmu,” ujarku kepada rumput yang tertimpa tubuhku yang kini tak bertuan dan berumah.
“Tidak apa-apa. Paling juga sebentar lagi kamu akan tersapu oleh angin atau benar-benar disapu oleh Mbok Sumi.”
“Ah, begitukah?”
Aku tak pernah benar-benar memikirkan apa yang terjadi pada daun-daun lain yang sudah lebih dahulu lepas dari dahan pohon. Selama ini aku selalu nyaman bertengger di puncak pohon, tepat menghadap matahari serta langit. Tak pernah aku melihat apa-apa yang terjadi di kaki pohon dan sekitarnya.
“Rumput?”
“Ya?”
“Apakah terbawa oleh angin itu seram?”
Rumput diam.
“Kenapa diam?”
“Aku tidak tahu, Daun. Selama ini aku hanya dipangkas, tidak pernah benar-benar dicabut. Maka aku tidak tahu apa rasanya menari bersama udara.”
Lalu Rumput kembali bungkam dan tak menggubris lagi pertanyaan-pertanyaan yang kugantungkan di antara kita berdua.
Aku biarkan Rumput menikmati diamnya. Sudah cukup aku menghalangi ia dari matahari, tak perlulah aku menyusahkannya, ia juga mungkin tak tahu jawabannya. Toh, daun-daun lain yang gugur bersamaku juga diam-diam saja.
Kupandangi apa-apa yang dahulu tak bisa aku lihat dari puncak pohon. Kadal-kadal yang berseliweran di antara rerumputan lalu dengan lincahnya memanjati pepohonan, kepik-kepik yang terbang kesana-sini menyapa cacing tanah yang baru bangun dari dari lelapnya di dalam liang-liang tanah merah, serta kupu-kupu yang dengan anggun terbang ke sana sini, menghisap sari-sari dari bunga rupa warna.
Betapa ramainya di bawah sini. Jauh lebih ramai daripada di atas sana.
Di atas sana, temanku hanya daun-daun lain dan matahari. Terkadang ada tupai atau kelelawar yang sesekali mengunjungi, tetapi pergerakan mereka terlalu cepat hingga aku tak sempat bercengkrama dan bersenda gurau dengan mereka.
Sedang di sini, semua dengan asiknya menghabiskan hari bersama-sama.
Kemudian angin berhembus. Aku sudah mempersiapkan diri kalau-kalau angin akan membawaku ke tempat baru. Alih-alih ikut terbawa arus angin, yang kudapati malah semilir harum dari arah timur.
“Rumput, bau apa itu?”
“Melati. Itu bau harum bunga melati.”
“Melati? Di mana bunga melati itu? Aku mau lihat.”
Rumput mendegus kesal, lalu ia menggaruk punggungku dengan pucuknya yang kasar karena habis dipangkas sebagai balasannya.
“Cari tahu saja sendiri. Aku tak bisa lihat apa-apa karena tertimpa olehmu.”
Ia tidak salah, sih.
Wajar ia merasa terganggu denganku. Karena itu, aku tidak mendorong percakapanku dengannya lebih jauh lagi.
Aku ingat harum itu datang ketika angin berhembus dari timur. Aku alihkan perhatianku ke arah angin itu berasal untuk mencari di mana bunga itu berada.
Di bayanganku, bunga dengan seharum ini seharusnya bermahkota besar dengan corak terang berupa-rupa warna. Namun, ternyata yang kudapati adalah sekuntum bunga mungil berwarna putih yang tumbuh dari semak yang tidak terlalu tinggi.
“Apakah kamu Melati?”
Kuntum bunga kecil itu awalnya tak menjawabku. Mungkin ia tak yakin bahwa aku berbicara padanya.
“Kamu berbicara padaku, Daun?”
“Iya, aku berbicara padamu.”
Angin kembali berhembus dari timur. Kini lebih kuat dari sebelumnya. Harum wangi dari Melati semakin jelas bisa terhirup olehku. Akan tetapi kuatnya angin juga menggeser tubuhku sedikit ke arah barat, menjauhi semak-semak melati.
Aduh, aku belum mau melayang pergi.
“Harummu begitu wangi, Melati.”
“Apakah itu sebuah pujian?
“Tentu saja pujian. Aku sampai ingin berkenalan denganmu begitu mencium wangimu.”
“Kau tahu? Tidak semua orang suka bauku karena menurut mereka bauku adalah pertanda kehadiran hantu.”
“Ah, tidak. Wangimu cantik, Melati.”
Melati tak menjawab, malah terkikik malu. Akupun ikut tersipu. Kepik-kepik dan kupu-kupu yang mendengar percakapan kami hanya bisa mendecakkan lidah karena geli melihat tingkah kami berdua.
Namun tak lama bagi semburat-semburat maluku berubah menjadi biru. Sebab aku teringat bahwa kebahagiaaan ini adalah semu, karena aku tak lagi sebuah daun yang memiliki akar yang kokoh. Karena waktuku di kebun yang baru aku kenal dengan sebaik-baiknya dan sepenuh-penuhnya dalam beberapa jam terakhir ini tidaklah lama.
“Sebentar lagi aku akan terbawa oleh angin atau tersapu oleh Mbok Sumi…”
“…Selama waktu tersisa, maukah kamu berbicara denganku, Melati?”
Karena itu, tak akan kusia-siakan waktuku untuk bermuram durja. Melati terlalu cantik untuk tidak diindahkan. Dengan modal nekat, aku pun berharap.
*
Satu keberanianku ternyata berbuah begitu manis. Waktu terasa seperti abadi ketika kami bercengkrama. Melati dengan kisah-kisahnya dari kaki pohon. Aku dengan kisah-kisahku dari puncak pohon. Meski berbeda, banyak hal-hal yang kami percaya yang kurang lebih sama.
Misalnya tentang menjadi gugur dan terbawa oleh angin. Meski kita berdua sama-sama tidak tahu apa yang terjadi, kita berdua setuju bahwa hal ini bukanlah hal yang buruk yang sampai bisa disebut sebagai tragedi.
“Kamu sama sekali tidak takut, Daun?”
Aku memandangi kelopak-kelopak dari mahkota Melati yang begitu mungil.
“Tidak terlalu. Malahan aku tak sabar melihat ke tempat macam apa angin membawaku.”
“Begitu, ya. Aku juga jadi penasaran, Daun.”
“Tapi sekarang aku belum mau untuk pergi.”
“Loh, kenapa?”
“Aku mau menunggumu. Ayo kita pergi bersama?”
Setelah itu Melati tak lagi menjawabku. Aku hargai ia. Permintaanku terlalu besar dan membebaninya. Lagipula Melati masih kokoh bertengger pada dahannya, sedang aku sudah lepas tak berakar. Akan butuh keajaiban agar kami bisa berpetualang bersama.
“Daun?”
“Iya, Melati?”
“Aku tidak tahu apakah mungkin bagiku untuk pergi bersamamu. Aku masih di sini dan kamu sudah di bawah sana.” Ia terdiam,sepertinya meragu, lalu melanjutkan, “Tapi kamu tahu bahwa aku sesungguhnya ingin itu. Biarlah harumku mendampingimu kemanapun kamu berada.”
Hatiku membuncah.
“Terima kasih, Melati. Itu sudah lebih dari cukup.”
An homage to Sapardi Djoko Damono.
Selamat menari bersama angin, Pak.
Jiwamu kini kekal abadi.